BANDA ACEH | SAH — Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengenai persepsi Bioskop di Arab dengan Aceh kembali mendapat kritik dari Sineas Aceh, Davi Abdullah M.Sn menilai Fadli Zon memiliki pandangan sempit tentang kebudayaan dan identitas lokal Aceh, yang seharusnya dihargai dan dihormati.
Davi mempertanyakan apakah pembangunan bioskop di Aceh menjadi arah kebudayaan Aceh dan sejalan dengan nilai-nilai budaya, identitas lokal serta masih relevan dengan budaya digitalisasi. Padahal masih banyak perihal lainnya yang harus di urus oleh Menteri Kebudayaan.
“Fadli Zon perlu menjawab beberapa pertanyaan penting mengenai rencananya untuk membangun bioskop di Aceh. Siapa yang akan berinvestasi dalam pembangunan bioskop tersebut? Apakah Kementerian Kebudayaan akan mendukungnya? Dari segi kebutuhan, apakah bioskop itu benar-benar dibutuhkan di Aceh? Dan apakah ada niat untuk merevisi regulasi qanun yang terkait bioskop? Ini yang perlu dipertimbangkan secara matang,” ujar Davi.
Davi juga menegaskan bahwa Fadli Zon harus menghargai dan memahami aspek kultural wilayah Aceh, yang tidak hanya berbicara soal bioskop, tetapi lebih kepada nilai-nilai yang sudah lama tercermin dalam kehidupan masyarakat Aceh. Davi menegaskan bahwa pandangan Fadli Zon tentang kebudayaan Aceh masih terkesan sempit, terutama ketika berbicara soal bioskop.
“Berbicara tentang kebudayaan Aceh bukan hanya soal pembangunan bioskop. Kebudayaan Aceh adalah perpaduan antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal yang telah lama ada. Fadli Zon seharusnya paham bahwa dalam konteks sosial dan budaya Aceh, ada UU Pemerintahan Aceh No 11 Tahun 2006 yang mengatur banyak aspek kehidupan, termasuk penerapan syariat Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Aceh,” tambah Davi.
Baca Juga: Fadli Zon Situs Gunongan Bisa Dipugar Kembali
Davi menambahkan, bisa saja Fadli Zon mengusulkan adanya revisi Qanun No. 22 tahun 2002 tentang Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perfilman sebagai usaha pemerintah Aceh dalam menyaring produk film yang masuk ke Aceh.
Davi juga mengkritik anggapan bahwa kebudayaan Aceh hanya diukur melalui media hiburan modern seperti bioskop. “Banyak aspek budaya Aceh yang bisa di urusi oleh bapak menteri, dan tak dapat dilihat hanya dengan pandangan sempit tentang hiburan. Jika ingin berbicara tentang kebudayaan Aceh, seharusnya melihatnya dalam kerangka yang lebih luas dan bukan hanya sekedar menilai dari satu sisi saja, apalagi hanya berbicara tentang Bioskop saja,” tegasnya.
Davi menambahkan bahwa setiap kebijakan yang hendak diterapkan di Aceh harus menghormati hukum dan regulasi yang ada, termasuk qanun yang berlaku di daerah tersebut. Jika Fadli Zon serius ingin membangun bioskop di Aceh, maka ia perlu memikirkan dengan bijak apakah hal itu sejalan dengan budaya dan identitas masyarakat Aceh.
“Keluarkan Keputusan Menteri atau regulasi yang menjadi payung hukum bagi investor yang ingin membangun bioskop dan jangan sampai kebijakan ini hanya menjadi alat untuk kepentingan politik atau ekonomi tanpa memperhatikan keberagaman dan nilai-nilai yang ada di Aceh,” tegasnya.
Baca Juga: Cucu Sultan Aceh Ucapkan Terima Kasih Atas Diplomasi Budaya Fadli Zon ke Aceh
Davi memberikan solusi terkait adanya bioskop alternative yang ada di Aceh, seperti yang dilakukan oleh sejumlah komunitas yang menfasilitasi warga untuk nonton. Seperti bioskop-bioskop alternatif, pada tahun 2007, Philippine Independent Filmmakers’ Multipurpose Cooperative (IFC) berusaha bernegosisasi dan menciptakan ceruk dalam ruang mal multipleks melalui pendirian Indie Sine, sebuah layar yang didedikasikan untuk film-film alternatif. Bagi IFC, ini menjadi ruang publik yang ideal dalam menemukan penonton, walaupun berlawanan dengan intuisi.
“Bioskop alternatif yang lebih berbasis komunitas, seperti yang dilakukan komunitas surah film, ada bioskop kampus, bisa menjadi jalan tengah untuk menikmati film berkualitas, tanpa harus mengorbankan identitas budaya dan agama yang ada di Aceh,” ujarnya.
Davi berharap, pendekatan seperti ini dapat menjadi model bagi pengembangan ruang hiburan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh. Ia memberikan gambaran seperti dalam jurnal yang berjudul Makna film bagi Masyarakat Aceh yang ditulis oleh Permana dkk (2019), menggambarkan pemaknaan film bagi masyarakat Aceh memiliki stereotip yang negatif dan dianggap memiliki pengaruh buruk dalam kebudayaan Islam yang beredar di masyarakat.
Hal itu kata Davi tercermin dari sajian film-film yang beredar secara komersial cenderung tidak memenuhi norma keislaman yang dianggap tidak pantas dan menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan masyarakat. Sehingga memberikan dampak enggannya investor dalam membangun bisnis bioskop di Kota Banda Aceh. Padahal, film merupakan cerminan apresiasi terhadap berbagai budaya dari belahan dunia.
“Fadli Zon harus mencari jalan tengah dalam menjawab kebutuhan bioskop di Aceh, atau buat regulasi dan jangan dipertentangkan selalu dengan penerapan syariat islam. Yang patut dibicarakan oleh seorang Menteri itu arah kebijakan kebudayan untuk Aceh, bukan sekedar mengurus Bioskop. Yang mengurusi bioskop semestinya itu pembisnis bioskop bukan seorang Menteri,” pungkasnya.[]